Mbangun desa, ngopeni kutha

Mbangun desa, ngopeni kutha

Pelantikan Bibit Waluyo dan Rustriningsih sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Tengah periode 2008-2013, bikin bungah Mas Boy. Bukan apa-apa.

Meski Mas Boy yang asli wong Wonogiri ini absen saat pencoblosan, karena tidak bisa meninggalkan pekerjaannya di Jakarta, namun dia tergelitik dengan slogan yang lantang dikumandangkan duet ini semasa kampanye: Bali ndesa, mbangun desa, alias kembali ke desa, membangun desa.

Sebagai wong desa, Mas Boy sadar betul betapa desa selalu dan selalu kehilangan putera terbaiknya karena harus merantau ke kota. Sering kali itu pilihan yang harus diambil karena desa tidak menyediakan akses kemajuan dan perbaikan hidup. Anak-anak muda di desa yang tidak punya pendidikan tinggi, merantau ke kota untuk berebut peluang pekerjaan sektor nonformal. Maka tak heran pedagang kaki lima (PKL) di kota-kota besar sepertinya patah tumbuh hilang berganti. Sementara anak muda yang berpendidikan tinggi, merantau ke kota karena tuntutan pekerjaan.

Saat bertemu Pak RT beberapa waktu yang lalu, untuk kali ke sekian Mas Boy mendengar cerita tentang beberapa anak muda potensial yang terpaksa angkat kaki ke kota.

Tahun ini saya kehilangan anak-anak muda potensial Mas,” kata Pak RT.

Si Bagus, satu-satunya sarjana ekonomi yang kita punyai diterima bekerja di Surabaya. Padahal saya dan dia sudah matang ingin mendirikan koperasi serba usaha. Selain bisa melayani simpan pinjam untuk warga, juga bisa menyediakan pupuk dan obat-obatan pertanian yang lebih murah. Ciamik ta. Tapi ya bagaimana lagi, wong itu buat masa depannya juga,” kata Pak RT.

Apa nggak ada orang lain yang bisa membantu Pak RT bikin koperasi?” tanya Mas Boy.

Walah, nggak ada Mas. Yang lain masih kecil-kecil, atau sekolahnya tidak tinggi, jadi tidak gaduk kalau diajak mikir seperti itu. Nanti juga nggak bisa ngomong sama petugas kalau ditanya ini-itu. Atau Mas Boy saja yang membantu saya bikin koperasi?”

Waduh Pak, saya cuma dua hari di kampung, nggak sempat Pak, maaf….”

Lha itu, yang pinter-pinter nggak sempat membantu kampung halaman, bagaimana desa ini akan maju. Kasihan warga Mas. Tidak sedikit yang kena jerat rentenir dan tidak sedikit pula yang kesulitan membeli pupuk. Kalau ada koperasi kan bisa lebih meringankan beban mereka.”

Mas Boy hanya bisa diam. Kalau dipikir-pikir, benar juga apa kata Pak RT. Selama dua hari di desa, dia bisa melihat tak ada kemajuan berarti di desa, kecuali beberapa hal. Misalnya semakin banyak pedagang keliling di desa dan banyak ibu-ibu yang ikut-ikutan keranjingan sinetron.

Selain Bagus, Pandu juga tahun ini diterima kuliah di Undip Semarang. Ini repot Mas. Dia itu kan pethingan kalau mengurus TPA. Anak-anak senang kalau yang mengajar Pandu, orangnya bisa tegas, bisa lucu. Tapi setelah dia pergi, penggantinya belum mumpuni,” kata Pak RT lagi.

Bukan sekadar slogan

Itulah sebabnya Mas Boy berharap banyak pada slogan yang dikumandangkan Pak Bibit semasa kampanye dulu. Tantangan bagi warga Jawa Tengah pada umumnya dan desa-desa di Jawa Tengah pada khususnya di antaranya adalah tingginya angka kemiskinan dan banyaknya angka pengangguran.

Harus diakui, kemiskinan bukan hanya problem utama Jateng, namun isu klasik nasional. Isu tentang kemiskinan sangat kompleks dan kait mengait dengan berbagai aspek mulai dari ekonomi, sosial, budaya dan politik. Menurut situs http://www.jawatengah.go.id jumlah penduduk miskin di Jateng pada masa krisis ekonomi dan moneter (1998-1999) tercatat 11,1 juta jiwa (36,7%). Secara berangsur-angsur turun pada 2003 menjadi 6,9 juta jiwa (21,78%) dan 2007 menjadi 6,6% (21%). Meski cenderung menurun, tetapi secara absolut jumlahnya masih cukup banyak.

Justru inilah harapan di balik pelantikan Bibit dan Rustri yang dilakukan Sabtu (23/8) lalu. Dengan membangun desa, bukan hanya membuka pintu kemajuan di desa-desa, namun di sisi lain juga bisa ngopeni kutha alias memelihara kota. Jika desa maju, tidak banyak orang desa yang berjejal-jejal menjadi PKL di kota.

Teman kuliah Mas Boy yang asli Solo, Jeng Kenes, bercerita bahwa sekitar 74% PKL di Kota Solo berasal dari daerah-daerah di luar Solo. ”Meski Pemkot Solo sudah bekerja keras menata PKL, dan relatif cukup berhasil, toh belum semua lokasi PKL bisa ditata dengan baik. Itu semua terjadi karena pertumbuhan PKL sulit dicegah. Bagi orang kota, ini mungkin sekadar soal keindahan kota. Tapi bagi para PKL, ini menyangkut kebutuhan dasar untuk menafkahi keluarga, jadi ya repot,” kata Jeng Kenes, beberapa waktu lalu.

Masalah yang dihadapi Solo juga dialami kota-kota besar lain di Indonesia. Kota dipadati dengan perantau-perantau dari kampung-kampung. Dengan etos kerja yang tinggi dan kerja keras, mereka berani berhadapan dengan kemungkinan kena gusur petugas Satpol PP. Semua ini dilakukan karena bekerja di kota merupakan pilihan paling masuk akal.

Itulah sebabnya Mas Boy berharap slogan kampanye Bali ndesa mbangun desa jangan hanya berhenti sekadar slogan, namun harus benar-benar diwujudkan. Mulai Sabtu (23/8), Bibit-Rustri menjadi milik seluruh warga Jateng, bukan hanya milik PDI Perjuangan, partai yang menjadi kendaraan politik mereka. Bukan pula hanya milik para anggota tim sukses atau para penyumbang dana kampanye. Bibit-Rustri adalah milik warga Jateng, maju-mundurnya Jateng sebagian besar di tangan mereka. Selamat bekerja Pak Bibit dan Bu Rustri! – Oleh : Suwarmin, Station Manager SOLOPOS FM

Tinggalkan komentar