DESA MANDIRI GOTONG ROYONG

Mang Eep Hidayat [ subang.go.id ] Desa adalah unit negara terkecil dan mengandung berbagai kebutuhan layaknya sebuah negara untuk menyejahterakan masyarakatnya. Desa membutuhkan kekuatan dan kesinambungan Ipoleksosbudhankamrata. Oleh karena itu, tidak ada sebuah negara dikatakan sejahtera, apa bila masyarakat desanya tidak sejahtera.
Atas pentingnya posisi desa dalam sebuah Negara dan Daerah sebagai penentu kemajuan Daerah dan Negara, maka Pemda Kabupaten Subang berkepentingan besar untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat desa dalam berbagai bidang pembangunan dengan memfokuskan pembangunan pada penumbuhkembangan desa sesuai dengan arah dan kebijakan pembangunan yang tepat dan benar. Lanjutkan membaca “DESA MANDIRI GOTONG ROYONG”

Sepotong Jalan Rusia dan Impian Soekarno

Tahun 1960-an, insinyur Rusia membangun jalan dari Palangkaraya menuju Tangkiling sepanjang 34 kilometer. Inilah jalan terbaik di trans-Kalimantan yang dilalui Tim Jelajah Kalimantan Kompas bersama Departemen Pekerjaan Umum, Jumat (13/2). Stabilnya konstruksi jalan disebabkan insinyur Rusia terlebih dahulu mengeruk gambut di ruas ini.

Jalan aspal itu lurus dan mulus. Tak ada guncangan ketika mobil melaju kencang di atasnya. Ini berbeda dengan jalan trans- Kalimantan dari Nunukan, Kalimantan Timur, hingga Palangkaraya, Kalimantan Tengah, yang penuh lubang dan bergelombang.

Warga setempat mengenal jalan itu sebagai Jalan Palangkaraya-Tangkiling. Namun, Gardea Samsudin (70) mengenangnya sebagai Jalan Rusia.

Lanjutkan membaca “Sepotong Jalan Rusia dan Impian Soekarno”

Kearifan lokal untuk ekologi

Kearifan lokal untuk keseimbangan ekologi

Indonesia adalah “negeri bencana”. Itulah ungkapan yang paling tepat untuk menggambarkan kondisi kita saat ini. Betapa tidak, begitu kita menginjakkan kaki di tahun 2009, serangkaian bencana mulai dari tenggelamnya kapal laut, gempa hingga banjir di berbagai kawasan perdesaan maupun perkotaan Indonesia.

Tidak dapat dipungkiri bahwa timbulnya bencana selalu diikuti serangkaian pertanyaan baik filosofis-kosmologis maupun teologis. Pemikiran filosofis-kosmologis berusaha untuk mengaitkan berbagai fenomena alam dunia dengan “amarah para dewa” sebagai akibat dari ketidakseimbangan dalam tatanan kosmos. Lanjutkan membaca “Kearifan lokal untuk ekologi”

Pertanian Berbasis Nagari

Proyek Pertanian Dibangun Berbasis Nagari

Padang, Padek—Bidang Pengelolaan Lahan dan Air (PLA) Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Sumbar memprogramkan pembangunan sejumlah perbaikan kesuburan lahan, pembangunan saluran air dan perluasan areal persawahan. Hal ini bertujuan, untuk meningkatkan produksi beras di Sumbar dalam rangka meningkatkan ketahanan pangan.

Pembangunan tersebut meliputi berbagai kegiatan pekerjaan seperti, perbaikan kesuburan sawah berbasis jerami, pengembangan SRI, konservasi lahan, pembangunan jalan produksi, pembangunan parit di areal persawahan, perluasan sawah, perluasan areal sejumlah tanaman hortikultura.  “Pembangunan proyek tersebut dilakukan berbasis nagari dengan melibatkan masyarakat petani. Diperkirakan sekitar bulan April sudah dikerjakan. Sebagian proyek segera ditenderkan, sisisanya diberikan ke masyarakat untuk dilakukan pembangunan secara partisipatif,” kata Kepala Bidang Prasarana Pertanian Septi Arman. Lanjutkan membaca “Pertanian Berbasis Nagari”

Desa “terhukum” PBB

Desa Yang “Terhukum” PBB

SETIAP kali datang ke Gedung DPRD Kab. Bandung, Asep Sutrisna selalu murung. Berbagai berkas selalu dia bawa. Aturan perundang-undangan pun dia hapalkan. Kepala Desa Sekarwangi, Kec. Soreang tersebut, selalu menjadi juru bicara dalam pertemuan dengan anggota dewan, memimpin kawan-kawannya sesama kepala desa, untuk mengubah peraturan bupati yang menghalangi hak desa.

Betapa tidak, 2008 merupakan tahun yang berat bagi 70 desa di Kab. Bandung. Akibat diterbitkannya Peraturan Bupati (Perbup) No. 20 Tahun 2008, desa-desa itu tidak berhak mendapatkan alokasi dana perimbangan desa (ADPD). Alhasil, ADPD senilai lebih dari Rp 7,9 miliar yang telah dianggarkan di APBD 2008 tidak terserap. Pada 27 Januari 2009, Bupati Bandung mengajukan ke DPRD agar anggaran ADPD 2008 dialihkan ke APBD 2009. Lanjutkan membaca “Desa “terhukum” PBB”

Pluralisme suku Tengger

Pluralisme Suku Tengger di Ngadas – Poncokusumo

Keelokan Desa Ngadas, Kecamatan Poncokusumo, Kabupaten Malang, bukan saja pada panorama alamnya, tapi juga keanegaragaman adat istiadat dan budaya di dalamnya. Desa yang dihuni Suku Tengger itu mampu mempertahankan budaya di tengah derasnya arus globalisasi.

Desa Ngadas yang terletak di lereng Gunung Semeru tidak ubahnya seperti desa lainnya di wilayah kabupaten. Yang membedakan adalah kebudayaan Suku Tengger yang tetap terjaga kuat di desa ini. Padahal masyarakatnya sangat plural dari sisi keyakinan. Sebab, di desa ini sekitar 1.820 warganya menganut agama yang beragam. Ada yang beragama Islam, Buddha, dan Hindu.

Namun, keyakinan berbeda itu tak menyurutkan masyarakatnya mempertahankan adat Suku Tengger. Tak hanya orang dewasa, tapi juga ditanamkan sejak dini pada anak-anak. Dengan kuatnya menjaga ada istiadat itu, Desa Ngadas diakui menjadi Desa Tengger. Yakni desa yang didiami oleh Suku Tengger asli yang sangat kuat mempertahankan dan menjalankan budaya dan adapt istiadat Tengger. Lanjutkan membaca “Pluralisme suku Tengger”

Model Desa Konservasi

Model Desa Konservasi (MDK)

Pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan konservasi sudah dilakukan sejak tahun 1993 oleh Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) dan Taman Nasional (TN) melalui pengembangan daerah penyangga. Karena hasilnya belum maksimal, maka sejak tahun 2006 pola pemberdayaan masyarakat tersebut dirubah melalui Model Desa Konservasi (MDK). Pembangunan MDK merupakan upaya konkrit pemberdayaan masyarakat disekitar dan didalam kawasan konservasi yang dilakukan secara terintegrasi dengan pengelolaan kawasan konservasi. Pembangunan MDK meliputi 3 kegiatan pokok yaitu pemberdayaan masyarakat, penataan ruang/wilayah pedesaan berbasis konservasi dan pengembangan ekonomi pedesaan berbasis konservasi. Lanjutkan membaca “Model Desa Konservasi”

Indosat Masuk Desa

Tanpa USO, Indosat Tetap Masuk Desa
Ardhi Suryadhi – detikinet

Rangkas Bitung -Indosat boleh saja tidak memenangkan tender telepon pedesaan dalam program USO, namun operator seluler kedua terbesar di Tanah Air ini tetap akan memperluas cakupan jaringannya ke area pedesaan.

Dirut Indosat Johnny Swandi Sjam, meski belum mau menyebut jumlah anggaran dan unit jaringan yang akan dibangun, namun ia memastikan pembangunan antara area perkotaan dan pedesaan relatif imbang tahun ini.

“Tahun 2009 ini rencananya, lima puluh persen pembangunan jaringan Indosat akan dialokasikan untuk memperluas coverage di pedesaan. Sementara, sisanya untuk meningkatkan kapasitas di perkotaan,” ujarnya di sela peresmian BTS Indosat di desa Citorek, Rangkas Bitung, Banten, Selasa (3/2/2009).

Lanjutkan membaca “Indosat Masuk Desa”

Utopia pembangunan desa

Pembangunan Pedesaan, Sebuah Utopia

Ahluwalia
(istimewa)

INILAH.COM, Jakarta – Indonesia adalah negeri yang gagal membangun pedesaan dan menyebabkan arus urbanisasi mengalir ke perkotaan. Ketiadaan jalinan produksi dengan sektor modern, dan lemahnya diversifikasi pertanian menjadi salah satu pendorongnya.

Di Indonesia, tidak ada keterkaitan apa yang terjadi di masa lampau (backward linkage) hasil-hasil pertanian ke sektor modern (forward linkage), sekaligus juga tak tercipta keterkaitan produksi (production linkage).

Yang terjadi malah keterkaitan konsumsi (consumption linkage). Artinya, kota-kota besar di negeri ini justru menjadi parasit dan menyedot sumber daya desa secara gila-gilaan. Tetesan ke bawah (trickle down effect) dan sebaran kemakmuran (spread effect) tidak pernah terjadi!

Saratri Wilonoyudho, dosen dan peneliti FT Universitas Negeri Semarang mengungkapkan, industri yang banyak dikembangkan adalah industri substitusi impor. Sementara pusat kapitalisme tetap ada di New York, Berlin, London, atau Tokyo. Wajar jika modernisasi pertanian terhambat dengan serius.

Dalam hal industri substitusi impor yang dikembangkan teknokrat Mafia Berkeley ala Prof Wijoyo Nitisastro cs, negara-negara maju amat ketat mengontrol teknologinya, sehingga Indonesia hanya bertindak sebagai ”tukang jahit”.

Tudingan itu diperkuat oleh temuan ekonom Australia Prof Hal Hill dua dasa warsa silam, dalam artikelnya yang berjudul ‘Foreign Investment and Industrialization in Indonesia’. Ia mengkritik industrialisasi itu tak menguntungkan Indonesia.

Menurutnya, hampir 100% teknologi yang beroperasi di Indonesia dikuasai oleh asing, terutama Jepang. Pernyataan Casson dan Pearce (1987) juga memperkuat alasan itu, yakni perusahaan multinasional negara maju yang beroperasi di negara berkembang sangat ketat mengontrol penguasaan teknologinya, ketimbang mengontrol penguasaan modal.

Akibat kontrol teknologi yang ketat dari ‘pemiliknya’, maka perusahaan atau industri di dalam negeri juga hanya tergantung dari negara-negara maju. Mereka hanya menggunakan alat, dan tidak memiliki research and development (R&D). Bukti ini ditemukan ekonom LIPI Dr The Kian Wie atas 12 perusahaan swasta terbaik di Indonesia.

Apalagi hubungan industrial akan bergantung pula kepada eskalasi pengendalian teknis atas penguasaan alam, peningkatan administrasi manusia dan hubungan di antara mereka, melalui manipulasi-manipulasi organisasi sosial-politik.

Sebagai akibat semua itu, pembangunan pedesaan kian jauh tertinggal dari sektor modern perkotaan yang konsumtif dan tak kreatif serta menghisap sumber daya ekonomi rakyat desa.

Sementara desa-desa di negeri ini mengalami kelangkaan kesempatan kerja. Justru produk-produk modern dari kota dan dari pusat kapitalisme dunia deras mengalir ke desa.

Maka, sampai 10 tahun reformasi ini, tidak ada hasilnya bagi rakyat desa karena pembangunan tetap berpusat di kota-kota besar dengan industri substitusi impor yang tak menguntungkan masyarakat. Pembangunan pedesaaan pun menjadi sebuah mimpi alias utopia. [E1]

www.inilah.com 05/02/2009 – 13:44

BMT Pengentas Kemiskinan

BMT DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

Agustianto

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2008, jumlah penduduk Indonesia yang masuk dalam kategori miskin tercatat sebanyak 36,17 juta jiwa (16,7 persen). Kriteria miskin tersebut berdasarkan konsumsi masyarakat di bawah Rp 123.000 per bulan. Dengan asumsi sebesar itu, maka buruh yang mendapatkan upah sebesar Rp 450.000 per bulan sesuai dengan KHM (Kebutuhan Hidup Minimum), tidak termasuk dalam kategori miskin. meskipun sesungguhnya mereka adalah kelompok kaum dhu’afa.

Berbeda dengan kriteria BPS, catatan International Labour Organization (ILO), menunjukkan bahwa penduduk yang berpenghasilan di bawah Rp 1 juta per bulan, dikategorikan sebagai masyarakat miskin. Sebab, ILO memasukkan sejumlah komponen seperti kebutuhan pendidikan, kesehatan, rekreasi dan kebutuhan lainnya (KHL, kebutuhan hidup layak). Seandainya BPS menggunakan kriteria miskin berdasarkan standar ILO, tentu jumlah penduduk Indonesia yang masuk kategori miskin akan meningkat dua sampai tiga kali lipat dari angka yang disebutkan BPS, atau sekitar 100 juta jiwa.

Untuk mengurangi kemiskinan yang demikian menggurita, diperlukan sebuah gerakan nyata dan implementatif. Salah satu upaya strategis untuk mengentaskan kemiskinan tersebut adalah melalui Lembaga Keuangan Mikro Syari’ah yang disebut Baitul Mal wat Tamwil (BMT). Lembaga keuangan ini telah terbukti dapat memberdayakan masyarakat kelas paling bawah (grass root) secara signifikan. Dalam satu dasawarsa pertama (1995 – 2005), di Indonesia telah tumbuh dan berkembang lebih dari 3.300 BMT, dengan asset lebih dari Rp 1,7 triliun, melayani lebih dari 2 juta penabung dann memberikan pinjaman terhadap 1,5 juta pengusaha mikro dan kecil. BMT sebanyak itu telah mempekerjakan tenaga pengelola sebanyak 21.000 orang. (Data Pinbuk, 2005).

Sekedar contoh, perlu dikemukakan di sini beberapa Lembaga Keuangan Mikro Syari’ah (BMT) yang telah berkembang, antara lain, BMT Dinar di Karang Anyar memiliki asset Rp 31.milyard, jauh mengalahkan BPR Syari’ah manapun di sumut. Demikian juga BMT Ben Taqwa di Jawa Tengah, assetnya mencapai Rp 30 milyar, BMT Bina Usaha Sejahtera (di Lasem Jawa Tengah) Rp 28 milyar, BMT MMU (di Pasuruan Jatim) Rp 17 milyar, BMT Marhamah (Wonosobo), Rp 13 milyard, BMT Tumang (di Boyolali) Rp 4 milyard, BMT Baitur Rahman (di Bontang, Kaltim), Rp 6 milyar, BMT PSU Malang, Rp 5,6 milyar, dan banyak lagi BMT yang berasset di atas Rp 10 milyar, seperti di Yogyakarta. Kesuksesan BMT di Jawa dan Kalimantan tersebut perlu diteladani masyarakat muslim Sumatera Utara, agar gerakan pemberdayaan ekonomi ummat dapat diwujudkan.

Konsep BMT di Indonesia sudah bergulir lebih satu dekade. Konsep ini telah banyak mengalami pembuktian-pembuktian dalam ‘mengatasi’ dan mengurangi kemiskinan. Peran lembaga ini untuk mengurangi angka kemiskinan sangat strategis, mengingat lembaga perbankan belum mampu menyentuh masyarakat akar rumput (fakir, miskin dan kaum dhu’afa lainnya). Akses mereka terhadap perbankan sangat kecil, bahkan hampir tak ada sama sekali. Mereka juga tidak punya agunan dan tidak pandai membuat proposal.

Peran strategis BMT dalam mengurangi kemiskinan terlihat dari kegiatan ekonomi BMT yang mempunyai kegiatan sosial (Baitul Mal) dan kegiatan bisnis (at-Tamwil). Kegiatan sosial ekonomi BMT dilakukan dengan gerakan zakat, infaq sedeqah dan waqaf. Hal ini merupakan keunggulan BMT dalam mengurangi kemiskinan. Dengan menggunakan dana ZISWAF ini, BMT menjalankan produk pinjaman kebajikan (qardhul hasan).

Kegiatan sosial BMT ini dapat disebut sebagai upaya proteksi atau jaminan sosial yang dapat menjaga proses pembangunan masyarakat miskin secara signifikan, sebagaimana dinyatakan Amartya Sen (2000). Proteksi sosial ini menjamin distribusi rasa kesejahteraan dari masyarakat yang tidak punya kepada masyarakat yang punya. Di sinilah BMT berperan sebagai agent of asset distribution yang mampu memberdayakan ekonomi ummat. Fungsi sosial BMT ini, sekaligus akan dapat menciptakan hubungan harmonis antara dua kelas yang berbeda.

Dengan adanya pola pinjaman sosial (qardhul hasan) semacam ini, maka BMT tidak memiliki resiko kerugian dari kredit macet yang dialokasikan untuk masyarakat paling miskin, karena produk qardhul hasan, bersifat non profit oriented,

Jika BMT sebagai Baitul Mal berfungsi sebagai lembaga sosial, maka BMT sebagai Baitul Tamwil berfungsi sebagai lembaga bisnis yang profit oriented. Dalam menjalankan fungsi ini, BMT memberikan pembiayaan dengan konsep syariah, antara lain mudharabah dan musyarakah (bagi hasil), jual beli (murabah, salam, istisna’) dan ijarah (sewa), rahn (gadai), dsb. Konsep bagi hasil untuk sebagian besar rakyat Indonesia merupakan konsep ‘lama’ dan sudah menjadi bagian dari proses pertukaran aktivitas ekonomi masyarakat.

Kegiatan bisnis yang dijalankan BMT jauh lebih unggul dari BPR (Bank Perkreditan Rakyat), karena BMT tidak saja bergerak dalam usaha simpan pinjam di sektor finansial, tetapi juga dapat menjalankan usaha sektor riil secara langsung.

Dua keutamaan inilah yang membuat BMT menjadi sebuah institusi yang paling cocok dalam mengatasi permasalahan kemiskinan yang dialami sebagian besar rakyat Indonesia (terutama di daerah perdesaan) dewasa ini. Dua sisi pengelolaan dana (Baitul Maal dan Baitul Tamwil) ini seharusnya berjalan seiring, jika salah satu tidak ada maka konsep tersebut menjadi pincang dan menjadi tidak optimal dalam pencapaian tujuan-tujuanya.

Karena itu, tidak ada alasan saat ini bagi pemerintah daerah, hartawan muslim, ulama dan cendikiawan muslimuntuk tidak membangun dan mengembangkan BMT. Mereka seyogianya membangun BMT di setiap kecamatan, kalau perlu di kelurahan.

BMT sebagai lembaga ekonomi dan keuangan mikro syariah memiliki ciri-ciri: Pertama, BMT merupakan lembaga ekonomi yanag mandiri yang mengakar di masyarakat, Kedua, didirikan dengan semangat kejamaahan, yaitu semangat kekeluargaan untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat di sekitar lokasi masyarakat sendiri. Ketiga, Bentuk organisasinya sangat sederhana, Keempat, Para pendiri BMT minimal berjumlah 20 orang sebagaimana pada koperasi biasa. Kelima, BMT dikelola oleh manajer profesional yang dilatih untuk mengelola BMT. Ketujuh, sistem operasi BMT telah disiapkan sebelumnya dalam bentuk manual atau pedoman kerja yang baku dan serupa antara BMT se-Indonesia. Kedelapan, BMT memiliki lembaga supervisi yang membina secara teknis pembukuan dan manajemen BMT, yaitu PINBUK (Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil).

Penutup

Lahirnya suatu BMT yang berdaya dan profesional, akan memungkinkan terwujudnya BMT sebagai agent of community development (agen pembangunan masyarakat) dan agent of asset distribution ((agen distribusi asset dari yang punya kepada yang tidak punya). BMT tumbuh sebagai institusi yang mampu memberdayakan umat, utamanya mengangkat derjat kaum dhuafa, menciptakan kesempatan kerja yang luas, membangun jaringan bisnis dan media pemerataan hasil pembangunan dan mampu menyediakan jasa keuangan yang efektif dan efisien bagi nasasabah bdan masyarakat. (Penulis adalah Sekretaris Jenderal Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia, Dosen Pascasarjana Universitas Indonesia Jakarta, Dosen Pascasarjana Islamic Ecomics and Finance Universitas Trisakti dan Pascasarjana Universitas Paramadina)

http://najmudincianjur.blogspot.com Monday, February 2, 2009